Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Ungkapan itu layak kita pakai bila hidup di kota. Di kota yang sesak hidup tetap bisa terasa lapang dan nyaman bila ada kesadaran, tenggang rasa. Dari situ lahir pengetahuan dan kebijakan tentang bagaimana mengatur kehidupan di kota secara beradab. Pengetahuan itu berkembang terus menerus mengikuti perkembangan kota sehingga menciptakan peradaban.
Karena itu dalam bahasa Arab kota disebut madinah, asal kata (tempat lahir) tamaddun alias peradaban. Hal serupa bisa kita analogikan pada rumah. Di kota ukuran rumah mau tak mau harus kian kecil, karena manusia bertambah banyak, tanah segitu-segitu saja, dan harga bahan bangunan makin tinggi. Kalau rumah harus besar, yang bisa punya rumah hanya orang kaya. Toh, rumah kecil bukan masalah asal ditata, ada toleransi dan sikap menahan diri. Maka, hidup di rumah kecil pun tetap terasa lapang. Apalagi, karena padat penduduk, serba sibuk, secara umum rumah di kota memang sudah selayaknya kompak, seperlunya, supaya tetap tersedia ruang publik dan ruang terbuka hijau yang cukup. Jadi, kualitas hidup di kota tetap terjaga. “Itu teori umum. Bahkan, di kota seharusnya tak ada lagi rumah tapak, sebagian besar hunian vertikal,” kata David Hutama, Ketua Departemen Arsitektur Universitas Pelita Harapan, Karawaci (Tangerang-Banten).
Karena itu cerita tentang bagaimana menata rumah mungil di kota selalu aktual, yang bagi orang di desa yang tidak punya banyak masalah dengan tanah dan lingkungan, mungkin terasa ganjil. Apalagi, developer makin banyak menghadirkan rumah contoh untuk rumah kecil. Itulah alasan Liputan Utama edisi ini kembali menampilkan tema penataan rumah kecil. Delapan rumah contoh dari tujuh perumahan di empat penjuru angin di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetebek), dan satu perumahan di Bandung, dikemukakan sebagai contoh.
Meyakinkan konsumen
Developer menghadirkan rumah-rumah contoh itu untuk membantu pemasaran perumahannya. “Kalau rumah kosong saja tanpa penataan interior berikut perabotnya, orang merasa ruangnya terlalu kecil, tidak cukup. Tapi, kalau ada contoh penataan interior mereka jadi tahu, oh rumah tipe 36 pun ternyata cukup untuk keluarga kecil,” kata Denny Aulia ST , Project Architect CitraIndah (600ha), Jonggol, Bogor-Jawa Barat, yang dibenarkan Head of Sales Sofyan Khabib dan Construction Manager Benediktus Aritonang.
Pendapat senada diutarakan Istiaji, Manage Engineering Planning & Design Harvest City (1.050 ha), Cileungsi, Bogor-Jawa Barat.
“Lebih mudah meyakinkan konsumen untuk segera membeli kalau ada rumah contoh. Kalau tidak mereka belum punya bayangan.Selain itu orang kecil itu suka bermimpi. Dengan adanya rumah contoh mereka tahu rumah kecil pun bisa ditata sesuai dengan mimpi mereka,” ujarnya. Teguh Prayitno, Direktur PT Sinar Puspapersada, pengembang Talaga Bestari (230 ha), Balaraja, Tangerang-Banten, menambahkan, umumnya konsumen rumah kecil sukar membayangkan bagaimana rumah yang terbatas bisa tetap cukup untuk keluarganya.
“Rumah contoh membantu memberikan gambaran nyata sehingga mereka yakin. Karena itu rumah contoh kita sengaja dibuat tidak mewah, tapi disesuaikan dengan kelas rumahnya supaya kelak benar-benar bisa diaplikasikan oleh setiap calon penghuninya,”jelasnya. Dina Hartadi, Ketua Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), berpendapat, rumah kecil sebaiknya berukuran paling sedikit 36 m2 dilengkapi dua kamar tidur, ruang keluarga sekaligus ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, dapur dengan sirkulasi udara ke ruang luar, dan kamar mandi dengan sirkulasi udara yang baik. “Kalau 21 m2 kekecilan, cocoknya untuk apartemen,” katanya.
Sementara David tidak menyebut angka spesifik. Ia hanya menyatakan, seharusnya rumah contoh bisa menjadi salah satu media bagi arsitek dan developer untuk mengedukasi konsumen, bahwa di kota yang sibuk mereka sebetulnya tidak butuh ruang yang luas di rumah, bahwa konsumen perlu mengembangkan kesadaran untuk berbagi, supaya tercipta lingkungan yang nyaman. Caranya,dengan hanya membuat ruang yang benar-benar perlu. Dengan demikian tersedia ruang terbuka yang lebih banyak untuk dimanfaatkan bersama. Di sini esensi penataan ruang menjadi penting.
Idealnya setiap rumah didesain sesuai dengan kebutuhan setiap konsumen. Tapi, hal itu sulit dilakukan developer yang berorientasi bisnis. Maka, solusinya dengan membuat denah layout yang loose (plong) supaya bisa ditata sendiri oleh pemiliknya. “Di sini masalahnya komunikasi. Sejauh mana arsitek mendapat kepercayaan developer untuk membantu konsumen menjadikan bangunan yang dibelinya menjadi rumahnya,” katanya. Arsitek dan developer juga perlu mendorong berkembangnya kesadaran, di kota kita tidak bisa melihat rumah kita sebagai entitas terpisah melainkan terkait dengan keberadaan kota. “Jadi, kita perlu sharing (berbagi) dengan orang lain,” ujarnya.
Kalau tidak, yang terjadi seperti sekarang ini. Semua orang berupaya melengkapi rumahnya dengan ruang ini dan itu yang sebenarnya tidak perlu demi keamanan dan kenyamanan dirinya sendiri. Akibat sikap egois itu, ditambah lemahnya pengaturan pemerintah, setiap orang selalu menginginkan ruang yang besar yang membuat kualitas lingkungan di kota makin buruk. “Bicara arsitektur kan bicara ruang yang nyaman untuk hidup kita dan orang lain. Kalau kesadaran sharing itu tinggi, lingkungan rumah-rumah kecil bisa lebih bagus daripada rumahrumah besar, karena lebih banyak ruang publik dan ruang terbukanya, lebih teduh dan banyak pohon,” katanya. |
Ditulis oleh : Yoenazh, Yudis, Diyah
sumber:housing-estate.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar